Foto : Kapten Ky. H. Moenasir Ali
Pengabdian santri pada republik ini baru saja mendapatkan pengakuan dengan penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri. Gelora pengabdian dan perjuangan santri membela Kemerdekaan dielaborasi dalam Resolusi Jihad yang dikeluarkan di Surabaya. Gelora semangat jihad itu juga melanda Mojokerto.
Pada saat meletusnya pertempuran Nopember di Surabaya, semua pesantren berubah fungsi menjadi markas perjuangan. Pelatihan singkat dan pembekalan ruhani dilakukan pada para santri yang akan dikirim ke garis depan Surabaya. Tak pelak, pesantren kemudian menjadi titik kumpul para santri yang berniat jihad menyambut seruan Holf Bestuur NU tanggal 22 Oktober 1945 itu.
Di Mojokerto, pengiriman santri yang akan pergi ke Surabaya dikoordinir oleh Barisan Hizbullah Mojokerto. Ditunjuk sebagai panitia pengiriman santri itu diketuai oleh Moenasir. Pengiriman itu menggunakan kendaraan bermotor yang disediakan oleh Barisan Oesong2 Surabaya. Kendaraan itu kebanyakan rampasan dari tentara Jepang. Setiap pemberangkatan truk yang disediakan tidak pernah mencukupi karena banyaknya peminat jihad. Oleh karena itu, Moenasir harus menyeleksi para peminat dengan ukuran utama usia dan kesehatan fisiknya. Banyak pemuda yang menangis karena tidak bisa ikut berjuang di medan pertempuran.
Ada kisah seorang pemuda desa Padangasri Jatirejo, saya lupa namanya, ngambek karena ditolak berangakat ke Surabaya. Dalam pengakuannya, Dia sempat ikut pelatihan singkat di pesantren Kedungkopek yang diasuh Kyai Muhaimin. Saat pemberangkatan, dia ikut bareng kawan santri lainnya. Saat akan naik ke truk, tiba2 diminta turun oleh panitia pemberangkatan. Dia tidak dioerbolehkan ikut berjuang di Surabaya karena usianya belum mencukupi dan fisiknya juga kecil pendek. Larangan itu membuatnya kesal dan pada akhirnya dia ngambek balik pulang ke Padangasri.
Setelah Surabaya tidak bisa dipertahankan lagi, Mojokerto menjadi pusat perjuangan. Di kota kecil ini pertahanan republik diatur oleh Dewan Pertahanan Daerah Surabaya atau DPDS yang dipimpin oleh Soedirman, Residen Surabaya. Pada saat itu Barisan Hizbullah Mojokerto menempati bangunan yang cukup strategis di utara alun2 bersebelahan dengan markas DPDS. Bangunan yang ditempati Hizbullah itu sekarang digunakan untuk Markas Kodim Mojokerto. Hizbullah menggunakannya hingga mundur dari Mojokerto tanggal 15 Maret 1947 saat Belanda menyerbu Mojokerto.
Selain itu, ada juga dibentuk Barisan Kyai Djawa Timur oleh Kyai Wahid Hasyim. Barisan yang beranggotakan para ulama itu dipimpin oleh Kyai Bisri (Samsyuri) Jombang. Tugas barisan kyai adalah memberikan arahan pada santri yang ingin ikut bertempur. Selain itu, barisan kyai juga bertugas mencarikan bantuan material dengan cara mengumpulkan sumbangan dari aghniya di seluruh jawa timur. Untuk menjaga keselamatan para kyai selama ada di Mojokerto maka dibentuklah satuan pengamanan yang dipimpin oleh Akhyat Chalimy, ketua GP Ansor Mojokerto.
Itulah sekilas kiprah santri Mojokerto menyambut seruan jihad pada awal kemerdekaan. Sesungguhnya Ada banyak tempat di Mojokerto yang terkait dengan perjuangan santri ini yang patut untuk diberi tetenger agar generasi nanti bisa mengetahuinya.